Jenazah Mayjen (Purn) Cornelis John Rantung saat disemayamkan di RSPAD Gatot Subroto (foto: fokussulut). |
Hanya sekali saya bertemu beliau, namun
satu kali itu membekas dalam hati saya. Waktu itu saya sementara
menempuh semester empat di Fakultas Teologi sebuah universitas
Kristen di Minahasa.
Pendeta jemaat saya adalah seorang yang
mempunyai hati seorang guru. Ia meminta saya untuk mewakilinya
mengisi jadwal pertukaran mimbar di wilayah – supaya saya bisa
memiliki pengalaman dalam memimpin ibadah, ungkapnya.
Entah mengapa saya berani menerimanya.
Bersama tiga orang teman seangkatan saya berangkat ke Tondano Barat
sekarang, tak pernah menyangka bahwa di antara jemaat yang hadir
duduk almarhum, seorang yang hanya saya dengar atau lihat di foto
yang dipajang di ruang kelas atau kantor guru.
Saya tidak memiliki kebanggaan apa-apa
ketika beliau menjabat erat tangan saya, dengan senyum yang
membangkitkan semangat. Dalam hati dan pikiran saya masih
terbayang-bayang suasana berisik ketika para penatua dan pendeta
jemaat berusaha berbisik, “Sudah waktunya duduk.”
Saya seperti mengerti apa arti panik
ketika saya mengangkat kepala saya, dan melihat jemaat masih setia
berdiri dari awal sampai sebelum khotbah. Saya hanya bisa tersenyum,
dan menyilahkan mereka duduk.
Ada satu wajah di antara jemaat yang
sepertinya saya kenal. Tidak harus lama untuk berpikir bahwa ia
memang orang yang di foto itu, sesekali mengangguk mendengar khotbah
seorang mahasiswa yang lupa untuk mengundang jemaat duduk.
Itu mungkin yang membuat mengapa
pertemuan yang sangat singkat itu begitu berkesan, dan tak heran ada
rasa tak percaya sekaligus sedih ketika mendengar berpulangnya mantan
gubernur Sulawesi Utara yang fotonya dipajang di ruang kelas dan
kantor guru itu.
Tapi pengalaman itu juga memberi saya
nuansa penghiburan. Iman memberi pengharapan, dan pengharapan tidak
akan mengecewakan, karena Kristus bangkit dari antara orang mati.
Selamat jalan Gubernur Rantung...
2 comments:
Nice story
Trims bro utk nice commentnya
Post a Comment