by Thomas Merton
Orang Kristen tidak hanya harus
menerima penderitaan: ia harus menguduskannya. Namun tidak ada yang
begitu mudahnya menjadi tidak kudus sama seperti penderitaan. Diterima sebagaimana adanya, maka penderitaan itu tidak membawa faedah
apa-apa bagi jiwa kita, kecuali mungkin menempanya.
Tahan menderita semata bukanlah
pengudusan. Penyangkalan diri yang sejati bukan sekedar wujud
ketabahan. Kita bisa menyangkal diri kita dengan hebat untuk alasan
yang keliru, dan pada akhirnya memegahkan diri dengan
penyangkalan diri kita itu.
Penderitaan dikuduskan bagi Allah lewat
iman – bukan iman dalam penderitaan, melainkan iman kepada
Allah. Ada yang yakin akan kuasa dan nilai dari penderitaan. Akan
tetapi, keyakinan yang demikian adalah ilusi. Penderitaan tak
memiliki kuasa atau nilai di dalam dirinya sendiri. Penderitaan hanya
berharga sebagai ujian iman.
Jika demikian, apakah baik jika kita
menderita? Bagaimana seandainya kita masuk ke dalam penderitaan, dan
kemudian mendapati penderitaan itu menghancurkan diri kita? Percaya
akan penderitaan adalah kesombongan: tapi menderita dalam percaya
akan Allah adalah kerendahan hati. Karena keangkuhan dapat mengatakan pada
kita bahwa kita cukup kuat untuk menderita, bahwa penderitaan itu
baik bagi kita karena kita baik.
Kerendahan hati menunjukkan pada kita
bahwa penderitaan itu adalah kejahatan yang harus selalu kita
nantikan dalam hidup karena kejahatan itu sendiri ada di dalam diri
kita. Tapi iman mengetahui pula bahwa kasih karunia Allah diberikan
kepada mereka yang mencari Dia di dalam penderitaan, dan bahwa oleh
anugerah-Nya kita bisa mengalahkan kejahatan dengan kebaikan.
Dengan demikian, penderitaan menjadi
baik oleh karena kebetulan, oleh sebab kebaikan yang dihadirkannya
yaitu supaya kita menerima dengan berlimpah dari kasih karunia Allah.
Penderitaan itu sendiri tidak membuat kita menjadi baik, tapi itu
memberikan kepada kita kemampuan untuk menjadikan diri kita lebih
baik lagi.
Itu sebabnya, apa yang kita kuduskan
kepada Allah dalam penderitaan bukanlah penderitaan kita, melainkan
diri kita sendiri.
Hanyalah penderitaan Kristus yang
berharga di mata Allah yang membenci kejahatan, dan bagi Allah itu
berharga terutama sebagai tanda. Kematian Kristus di atas kayu salib
mempunyai arti dan harga yang tak terhingga, bukan karena itu
merupakan kematian, melainkan karena itu adalah kematian dari Anak
Allah.
Salib Kristus tidak berbicara tentang
kuasa penderitaan atau kuasa kematian, melainkan semata-mata kuasa
dari Dia yang mengatasi penderitaan dan kematian dengan bangkit dari
orang mati.
Luka-luka yang ditaruh oleh kejahatan
di tubuh Kristus adalah untuk dipuja sebagai hal yang kudus, namun
bukan karena itu adalah luka-luka, melainkan karena itu adalah
luka-luka Kristus. Kita juga tidak akan memuja luka-luka itu, jika
semata-mata Kristus mati karenanya, tanpa bangkit kembali.
Karena Kristus bukan hanya seorang yang
pernah mengasihi kita sedemikian sampai rela mati bagi kita.
Kasih-Nya bagi kita adalah kasih Allah yang tak terbatas, yang lebih
kuat dari semua kejahatan dan tak bisa disentuh oleh kematian.
Karena itu, penderitaan hanya bisa
dikuduskan bagi Allah oleh seorang yang percaya bahwa Kristus tidak
tetap tinggal dalam kematian. Adalah bagian dari yang paling mendasar
dalam iman Kristen untuk menghadapi penderitaan dan kematian, bukan
karena itu semua baik, atau mempunyai arti, tetapi karena kebangkitan
Kristus telah mengubah arti yang terkandung di dalamnya.
Mengenal salib bukanlah semata-mata
mengenal penderitaan kita sendiri, karena salib adalah lambang
penyelamatan, dan tidak ada seorang pun diselamatkan oleh penderitaan
mereka sendiri. Mengenal salib adalah mengetahui bahwa kita
diselamatkan oleh penderitaan Kristus; lebih dari itu adalah mengenal
kasih Kristus yang telah menyelamatkan kita melalui penderitaan dan
kematian-Nya.
Itu sebabnya, mengenal salib adalah mengenal Kristus. Karena mengenal kasih-Nya bukanlah
semata-mata mengetahui cerita tentang kasih-Nya, melainkan untuk
mengalaminya dalam roh kita bahwa kita dikasihi-Nya, dan bahwa dalam
kasih-Nya itu Bapa mewujudkan kasih-Nya kepada kita, melalui Roh-Nya
yang Ia curahkan ke dalam hati kita...
Akibat dari penderitaan terhadap diri
kita adalah tergantung dari apa yang kita cintai. Jikalau kita hanya
mengasihi diri kita sendiri, maka penderitaan dibenci. Itu menjadi
sesuatu yang harus dihindari dengan segala cara, dan dengan demikian
memunculkan semua yang jahat dari dari dalam diri kita.
Seseorang yang hanya mengasihi dirinya
sendiri akan melakukan dosa apa saja dan menimpakan kejahatan apapun
terhadap orang lain hanya untuk menghindari penderitaan atas dirinya.
Lebih buruk lagi, jika seseorang
mengasihi dirinya sendiri dan mendapati bahwa penderitaan itu adalah
hal yang tak terhindarkan, kemungkinan ia bahkan mencari kesenangan yang
menyimpang di dalamnya, dan dengan demikian menunjukkan bahwa ia membenci dan
mencintai dirinya pada saat bersamaan.
Dalam hal apapun, jikalau kita hanya
mengasihi diri kita sendiri, maka tak terelakkan penderitaan itu akan
memunculkan pementingan diri sendiri, dan setelah menunjukkan siapa
kita, ia akan mendorong kita menjadi lebih buruk dari yang ada.
Jikalau kita mengasihi orang lain dan
menderita bagi mereka, bahkan tanpa kasih supranatural di dalam Allah
bagi orang lain, penderitaan itu dapat memberikan kepada kita suatu
keluhuran atau kebaikan. Itu mendorong keluar sesuatu yang indah dari
dalam hakikat kita, dan memberi kemuliaan kepada Allah yang telah
menciptakan kita lebih besar dari penderitaan. Tapi pada akhirnya,
suatu penolakan terhadap pementingan diri sendiri yang datang dari
hakikat kita tidaklah bisa mencegah penderitaan itu menghancurkan
diri kita bersama dengan semua yang kita cintai.
Jikalau kita mengasihi Allah dan
mengasihi sesama di dalam Dia, kita akan berbahagia membiarkan
penderitaan menghancurkan apa saja di dalam kita yang mana Allah
berkenan membiarkannya dihancurkan. Kita tahu bahwa semua yang
dihancurkan itu tidak penting. Kita akan lebih memilih supaya apa
yang kebetulan menjadi sampah dalam hidup dimakan oleh penderitaan
supaya kemuliaan Allah muncul dengan bersih dalam segala yang kita
perbuat.
Jikalau kita mengasihi Allah,
penderitaan tidaklah menjadi masalah. Kristus ada dalam kita,
kasih-Nya, Penderitaan-Nya ada di dalam kita: itulah yang penting
bagi kita. Rasa sakit takkan berhenti menjadi rasa sakit, tapi kita
bisa bergembira di dalamnya karena hal demikian membuat Kristus
menderita di dalam kita dan memberi kemuliaan yang lebih besar kepada
Bapa-Nya dengan menjadi lebih besar dari apapun yang bisa dibawa oleh
penderitaan ke dalam hati kita.***
Translated by Ray Maleke
Holy Week 2013
No comments:
Post a Comment