Ecclesia reformata semper reformanda secundum verbum Dei

Apakah orang Minahasa etnosentris?


Oleh: Ray Maleke

Tak jarang kita mendengar humor yang membuat perut sakit mengenai seorang dari etnik tertentu. Di Minahasa kisah seperti itu sering ditemui.

Sering juga kisah seperti itu disampaikan tanpa maksud merendahkan apalagi melecehkan orang dari etnik yang berbeda, sekalipun kita tahu bahwa jika ada yang bersangkutan mendengarnya kemungkinan besar bisa tersinggung.

Banyak cerita humor yang memang etnosentristik, maksudnya yang menempatkan etnik lain, terutama orang yang diceritakan, sebagai yang dapat ditertawakan, yang lucu, yang bisa diejek, dan kadang bodoh.

Sebagai contoh di Minahasa kita mendengar humor yang memakai tokoh “Ungke,” sapaan sayang bagi anak lelaki di Sangir.

Namun, ini bukan hal yang unik. Ketika cerita yang sama dituturkan di Sangir, misalnya, maka tokohnya akan disebut “Utu,” istilah yang sama untuk anak lelaki Tondano di Minahasa.

Jadi di mana-mana, di berbagai komunitas etnik, terdapat cerita-cerita yang etnosentris.

Di mana-mana juga orang Minahasa akan dengan bangga membawa ke-Minahasa-annya. Identitas ini sudah melekat bersama identitasnya sebagai orang Indonesia.

Dia menyebut Indonesia sebagai bangsa-negaranya, tapi bangsanya adalah Minahasa. Ini bisa disebut prototipe Ratulangi.


Memahami etnisitas

Kesadaran etnik seperti ini bukan pula unik untuk Minahasa saja.

Pada umumnya, komunitas etnik di seluruh belahan dunia menjunjung tinggi etnisitasnya, yaitu kesadaran akan dirinya (persepsi, F. Barth, 1969) sebagai bagian dari sebuah kelompok hidup yang diikat oleh pertalian dan kedekatan kekeluargaan, baik dari segi anggapan hubungan darah termasuk hubungan sejarah, kedekatan budaya, asal atau tanah kelahiran, agama, dan sebagainya.

Para ahli di bidang sosial antropologi mulai meninggalkan anggapan bahwa kelompok etnik direkatkan semata-mata oleh faktor-faktor “esensial” (sering juga disebut “primordial”) seperti disebutkan tadi, atau hanya oleh kepentingan politik dan ekonomi, yang dikatakan “instrumental.” 

J. McKay (1982), misalnya, menulis bahwa pendekatan yang memisahkan kedua hal ini tidak ada untungnya karena jelas keduanya ada dalam dinamika etnisitas.

Namun, kembali ke masalah etnosentris tadi. Istilah ini secara terminologis diambil dari kata Yunani “ethnos” dan “kentron.”

Definisi “ethnos” dalam leksikon Yunani bermacam-macam, termasuk merujuk pada “satu bangsa dari satu keturunan atau nenek moyang.” Untuk memahami “kentron” ingat saja gerak jangka, satu titik untuk membuat sebuah lingkaran.

Jadi yang dimaksud dengan etnosentris, atau juga etnosentrisme, adalah anggapan, pemahaman, perasaan dan pemikiran yang membentuk perilaku dalam mana seorang memandang bahwa kelompok etniknya yang paling hebat, paling bermartabat, yang paling kuat dan yang harus menjadi utama, sehingga dengan demikian melihat manusia lain yang berlatar belakang etnik berbeda sebagai yang lain, yang berbeda, saingan, bahkan musuh.


Etnisitas dan orang Minahasa

Ada orang Minahasa yang etnosentris. Ini bukanlah hal yang unik bagi orang Minahasa, karena di setiap komunitas etnis akan ada orang yang hanya bisa melihat sebatas tanda-tanda kesukuan, atau etnisitasnya sendiri. 

Cara pandang seperti ini pun sebenarnya bukan terbatas pada kelompok kategori suku bangsa atau etnik, karena sesuai dengan yang dipahami dalam social identity theory (SIT), orang-orang mempunyai kecenderungan untuk mengelompokkan diri mereka sendiri dan orang lain (Tajfel dan Turner, 1985).

Itu sebabnya dalam setiap kelompok dan pengelompokan bahaya 'sentrisme' itu juga mengancam.


Sumbangan dari teologi Kristen

Sedikit menyinggung dari sudut pandang teologi Kristen, disertasi A. Kuecker (2011) memberi suatu wawasan yang penting.

Menelusuri peran Roh Kudus dalam Kitab Lukas dan Kisah Para Rasul, Kuecker menunjukkan karya Roh Kudus dalam merajut identitas yang dapat mengekspresikan kasih pada in-group (kelompok sendiri) dan pada saat yang sama juga kepada out-group (kelompok lain).

Dari situ dapat dikatakan bahwa dalam Kristus prinsip minaesa itu mendunia, melampaui level persatuan Indonesia, yang dalam pengertiannya tidak menghapus keberagaman yang ada, melainkan melihat perbedaan yang ada sebagai kekayaan bersama.

Ikatan yang lahir dalam persekutuan dengan Kristus ini bukan didasarkan atas refleksi sejarah atau hubungan darah, melainkan pada darah Kristus yang tercurah untuk menebus dosa-dosa manusia. 


Agama dan Etnik

Saya menyentuh wilayah teologi karena kita menyadari, mengikuti Suryadinata, Arifin, and Ananta (2003), bahwa identitas agama seringkali juga menjadi penanda perbedaan etnik di Indonesia. (Sekaligus yang paling sering digarap untuk menciptakan instabilisasi).

Kita orang Minahasa sangat kuat dengan identitas Agama Kristen, hal ini dilihat sebagai yang membedakan kita dengan orang Minangkabau, misalnya, dan menyamakan kita dengan Toraja dan Batak Karo, misalnya. (Tapi kita semua tetap sesama manusia. Bukan?)

Namun demikian, ada di antara kita orang Minahasa yang punya tante yang muslimah, sepupu yang muslimin, bahkan banyak di antara kita dan saudara-saudara kita yang Ponosakan, bisa saya sebut juga Bajo karena melihat foto Prof. Adolf di Rukun Keluarga Lasut, adalah penganut agama Islam; belum lagi disebut teman sekampung yang mengunjungi pura, klenteng, vihara, dsb.

Bagi orang Kristen adalah hal yang alkitabiah untuk memandang setiap manusia, lepas dari latar belakang apapun yang dimilikinya, sebagai seorang yang menyandang gambar Allah.

Dari situ kita bisa sampai pada kerangka berpikir dan kerjasama untuk mendatangkan kebaikan bagi sesama dan bumi yang diciptakan Allah.


Persaudaraan manusia

Dalam kerangka pemikiran teologis ini, tak salah jika disebutkan bahwa orang-orang tertentu masih berpikir dalam kerangka agama non-theis: teori evolusionisme (evolusi yang melibatkan perubahan spesies).

Dalam kerangka pemikiran ini awalnya saudara-saudara kita dari Afrika (termasuk kita sendiri) dianggap terlambat dalam proses menjadi seperti orang Aria, sehingga kapasitas moral dan inteleknya inferior.

Barangkali juga teori ini memposisikan manusia berasal dari jenis kera yang berbeda, sehingga suku yang satu berasal dari kera jenis ini dan yang lain dari jenis itu.

Namun dari sudut pandang Agama Kristen nenek moyang kita yang pertama adalah Adam dan Hawa (bagi yang menganggapnya Toar dan Lumimuut secara biologis itu adalah pandangan masing-masing, silahkan juga membaca tulian saya “Kolonialisme dan Kisah Toar Lumimuut).

Skip kedalaman filosofi dan argumen ilmu pengetahuan tentang manusia pertama, kita melihat bahwa manusia berprokreasi dan menyebar ke seluruh bumi, sehingga sama seperti kaum Arab adalah sepupu dari kaum Israel, orang Minahasa adalah juga sepupu jauh orang Jawa. Bahkan orang Belanda, Spanyol, Portugis, Inggris termasuk Perancis yang pernah menjajah Indonesia adalah saudara-saudara kita juga.

Itu sebabnya, sikap etnosentristik itu bertentangan dengan prinsip kemanusiaan, yaitu the universal brotherhood of humankind. Dan sama seperti ungkapan Eunice Kamaara (2010), etnosentrisme merupakan “negative ethnicity” (etnisitas negatif), dan dapat dirubah menjadi “positive ethnicity” (etnisitas positif).

Identitas etnis adalah bagian dari karunia Tuhan bagi seorang manusia. Karena di dalamnya manusia dapat memahami dirinya, dan Tuhan mengkomunikasikan maksudNya dan mengambil inisiatif untuk masuk dalam hubungan yang erat sebagai Pencipta dan ciptaan.

Jadi apakah orang Minahasa etnosentris? Torang jawab jo masing-masing.



Ilustrasi: www.williamsclass.com


Bibliography

Barth, F. “Introduction.” In Ethnic Groups and Boundaries: The Social Organization of Culture Difference, edited by F. Barth. London: George Allen and Unwin, 1969.
Esler, Philip Francis. Conflict and Identity in Romans. Minneapolis: Fortress Press, 2003.
Jones, Siân. The Archeology of Ethnicity: Constructing Identities in the Past and Present. London: Routledge, 2005.
Kamaara, Eunice. “Towards Christian National Identity in Africa: A Historical Perspective to the Challenge of Ethnicity to the Church in Kenya.” Studies in World Christianity 16.2 (2010): 126-144.
McKay, J. “An exploratory synthesis of primordial and mobilizationist approaches to ethnic phenomena.” Ethnic and Racial Studies 5(4), (1982):395-420

Suryadinata, Leo, Evi Nurvidya Arifin, and Aris Ananta. Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2003. 

No comments:

First Things | On the Square